Sabtu, 01 Juli 2017

Khadijah Al-Kubra

Sebuah novel karangan Sibel Eraslan dari Istanbul Turki. Jika dibilang novel, tapi lebih ke arah biografi. Jika dibilang biografi, bahasa dan perumpamaan yang digunakan seperti novel. Novel yang menceritakan kisah perjalanan hidup Ibunda Kota Mekah yang kedua, Khadijah Al-Kubra. Yang menarik dari novel ini adalah penggambaran mimpi-mimpi Khadijah tentang baginda Rasulullah.
Di sini diceritakan sebelum Khadijah bertemu Rasulullah, Khadijah sering bermimpi sedang berjalan ke angkasa. Mulanya, dia mendapati bintang-bintang yang bersinar bagaikan kilatan perhiasan di atas langit yang biru kelam. Saat dia merasa seolah terbang dan terus berjalan di ketinggian udara, dia menyaksikan gugusan planet-planet di angkasa. Dia pun berpikir untuk menembus gugusan galaksi yang penuh dengan bintang-bintang itu. Terbang dan terus terbang ke angkasa. Kemudian, dia mendapati mentari dalam lingkaran cahayanya. Dia diam, hanya diam termenung di sana. Tertegun memandangi indahnya pancaran cahaya yang merasuk dalam jiwa, menerangi hatinya.
Sesampainya di pusat sang surya, entah mengapa pengembaraannya terhenti.  Mimpi yang dilihatnya telah menjadikan jiwa dan raganya merasakan sebuah perjumpaan. Keindahan rasa perjumpaan itu meluap-luap ibarat pancaran cahaya mentari yang mengenai tubuhnya yang tembus cahaya. Cahaya yang terbiaskan dari prisma dan kemudian dipancarkan kembali dalam aneka warna. Mimpi tanpa udara, karena hanya ada Khadijah Al-Kubra disana, dalam mimpinya.
Khadijah merasakan dingin yang menyelimuti jiwanya. Entah mengapa dia menggigil seketika. Hal apakah yang membuatnya demikian? Mungkinkah karena gejolak di hatinya? Gejolak karena ingin mencintai dan dicintai. Mungkin inilah yang namanya dilema rasa.
Mim. Sebuah kata kunci, rumus, sandi dan juga tanda tangan. Sebuah huruf yang seolah tampak dalam setiap apa yang dilihatnya. Seolah seluruh bahasa di dunia kehilangan kata-kata, membisu dan terpaku. Ya, “mim” adalah sebuah mata yang kini telah menjadi matanya.
Saat dia berucap “mim”, seolah-olah sekujur tubuhnya menjadi cair olehnya. Tertegun dalam jiwa yang penuh ketundukan. Seakan-akan ruhnya terbang membubung hingga ke angkasa. Tubuh Khadijah seolah membatu, menantikan kedatangannya. Khadijah menunggu di balkon lantai atas rumahnya. Ia terus menatap ke  kejauhan, berharap segera datang seseorang yang telah lama dinantiakan.
Khadijah tampak gugup. Dari mulutnya seolah-olah akan terucap sebuah huruf yang mengawali sebuah kata, “mim”. Namun, tidak lama kemudian, dirinya kembali tersadar. Ia segera berupaya berbenah diri sambil berkata, “Maisaroh..... maksudku..... Maisaroh.”
Ya, bukankah nama seseorang yang sedang ia nanti-nantikan juga berawal dengan huruf yang sama? “Aku sangat merindukan Maisaroh. Sudah lama aku tidak bisa tidur dengan tenang tanpa ada dirinya.” Namun, benarkah seorang Maisaroh yang dirindukannya?
Di sisi lain, kafilah yang sebentar lagi akan sampai ke tanah Mekah pun merasakan kegirangan yang tiada tara. Mereka semakin tidak sabar untuk segera memacu kuda dan mempercepat langkah agar sesegera mungkin sampai di tanah Mekah.
Akhirnya, para kafilah telah sampai. Di tengah-tengah penduduk yang bermandikan kegembiraan, tiba-tiba muncul suatu kejadian yang tampak aneh. Seorang penunggang kuda yang berada di barisan kedua memisahkan diri dari rombongan. Ia terlihat memacu kudanya ke arah Timur, menuju kediaman Khadijah binti Khuwaylid.
Dalam seketika, Khadijah menjadi gugup. Hatinya berdebar-debar. Air matanya hendak berlinang. Ia hanya memberikan isyarat sebagai bentuk ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya, sebagai ungkapan keinginannya untuk membalas semua prestasinya dengan kebaikan yang sebesar-besarnya.
Di hari yang penuh kegembiraan, tempat tinggal Khuwaylid yang sudah sangat tua itu bersinar seperti cahaya lilin di malam hari. Obor dan lilin-lilin menghiasi halaman sampai atap rumah. Tempat tinggal Khadijah layaknya sebuah istana kristal.
Abu Thalib dan Waraqah bin Naufal  adalah dua leluhur yang wajahnya bersinar penuh dengan kegembiraan. Hati mereka penuh dengan kedamaian di hari pernikahan ini.

Anak yatim Mekah dengan mutiara Mekah.
Laki-laki terpercaya Mekah dengan wanita tersuci Mekah.
Pernikahan antara huruf “Kha” dan huruf “mim”.


“Ya kaum Quraisy, jadilah saksi. Saya adalah Waraqah bin Naufal. Dengan mahar 400 dinar, dua belas ukiyah dan satu nashiyah emas, serta 20 unta muda, saya nikahkan Khadijah binti Khuwaylid dengan Muhammad bin Abdullah.”

Melihat hal itu, kaum Quraisy yang berada di luar rumah telah paham bahwa akad nikah telah dilaksanakan.
Langit dan bumi.
Penghuni langit dan penghuni bumi.
Semuanya mengucapkan selamat atas hari yang luar biasa ini.
Bersama-sama merayakan sebuah pernikahan yang indah.
Maha Suci Allah Dzat yang telah menciptakan hamba-Nya berpasang-pasang.
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar